Belajar dari Krisis Ekonomi Sri Lanka, Indonesia jangan sampai!
Sri Lanka adalah negara di tengah gejolak; Presiden Gotabaya Rajapaksa akhirnya mengundurkan diri pada Kamis (15/07) setelah melarikan diri dari Sri Lanka.
Sri Lanka kini sedang rusuh besar, istana presidennya diduduki massa, presiden dan perdana menterinya pun sudah bersedia untuk mundur. Alasan utamanya adalah negaranya bangkrut, hutang banyak, tetapi uang untuk melunasi hutang tersebut tidak ada. Pasokan bahan bakar, makanan, obat-obatan dan kebutuhan pokok lain di Sri Lanka terbatas, membuat harga-harga membumbung tinggi. Para pengunjuk rasa menyalahkan elit politik atas krisis yang terjadi di negara itu.
Jadi apa saja faktor yang menyebabkan krisis di Srilanka?
Selain alasan pandemi dan perang di Ukraina, alasan utamanya adalah karena pemerintah Sri Lanka tidak bisa memimpin dengan baik dan korupsi. Bayangkan saja, sampai 2 bulan lalu yang menjabat presiden dan perdana menteri adalah kakak-beradik. Rasio hutang terhadap PDBnya pun sudah di atas 100%. Pelemahan ekonomi global menyebabkan warga Sri Lanka yang tinggal di luar negeri mengirim lebih sedikit uang untuk menopang keluarga yang berjuang untuk bertahan di kampung halaman. Remitansi (pengiriman uang dari luar negeri) turun dari US$515 juta, atau sekitar Rp7,7 triliun, pada November 2019 menjadi $248,9 juta (Rp3,7 triliun) pada April, menurut bank sentral negara itu.
Jebakan Hutang!
Perang saudara di Sri Lanka yang berlangsung selama tiga dekade berakhir pada 2009. Pascaperang, pemerintah melakukan pembangunan secara besar-besaran dan banyak berinvestasi pada infrastruktur, seperti jalan dan pelabuhan. Dana infrastruktur itu berasal dari utang dan negara itu kini dibebani dengan beban utang sebesar $51 miliar (Rp767,3 triliun)—termasuk $6,5 miliar (Rp97,7 triliun)—utang ke China. Membayar pinjaman luar negeri itu telah menguras cadangan devisa, menyisakan sedikit yang tersisa untuk membeli makanan.
Negara-negara maju yang tergabung dalam G7—Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat—menyatakan mendukung upaya Sri Lanka untuk mengurangi pembayaran utangnya. Bank Dunia menyetujui untuk memberi pinjaman sebesar $600 juta (sekitar Rp 9 triliun) kepada Sri Lanka. India juga telah menawarkan pinjaman sebesar $1,9 miliar (Rp28,5 triliun). Pemerintah Sri Lanka juga sedang dalam proses negosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) terkait rencana pinjaman $3 miliar (Rp45,1triliun).
Tentu Indonesia harus belajar dari kejadian ini. Oleh karena itu, ketika kita berhutang harus selalu ingat, jika yang namanya hutang harus dikembalikan pokok bersama dengan bunganya. Negara pun juga harus begitu.
Jadi penting jika hutang itu dipakai untuk membuat sesuatu yang produktif yang hasilnya akan melebihi dari hutang itu sendiri. tetapi jika negara berhutang, kemudian dianggarkan untuk membeli gorden seharga miliaran, mobil pejabat yang masih layak, atau proyek gagah-gagahan, itu yang akan menyebabkan bencana keuangan.
Negara kita sebenarnya sudah belajar dari krisis pada tahun 1998, yaitu batas maksimal hutang di angka 60% dari PDB. Dan syukur saat ini hutang negara kita masih ada di kisaran 40-an%. Tetapi kita masih harus tetap waspada karena korupsi dan ketidakbecusan pemerintah bisa membuat setiap negara menjadi seperti Srilanka.